Sabtu, Juli 19, 2008

SISI HIDUP : MEMBONGKAR TRADISI “HASAI NARAN” DI ATAMBUA


“SEBENARNYA, saya tidak mengerti apa itu ‘hasai naran’ (tradisi menjual atau transaksi keperawanan), lalu saya marah kepada kedua orang tua saya, setelah saya dipaksa melakukan hubungan seks,” ujar MR (14). Begitu semuanya selesai, kata pelajar SD (sekolah dasar) itu, dirinya mendapat penjelasan dari orangtuanya bahwa “hasai naran” itu tradisi yang harus dilakukan.

“Kalau saya tidak mau, maka saya bisa dihukum, saya pun semakin takut, sehingga ketika saya disuruh bekerja di rumah biru (rumah pekerja seks komersial), maka saya mau saja,” ujarnya.

Menurut remaja putri yang beragama Katholik itu, dirinya melakukan “hasai naran” pada usia 12 tahun. “Seingat saya, waktu itu siang hari, saya sedang tidur dan dibangunkan untuk melayani seorang lelaki yang sudah tidak asing, karena dia lumayan terkenal di Atambua,” kenangnya.

Bila dirinya diminta memilih, katanya, maka dirinya tidak akan mau menjalani tradisi itu. “Tapi waktu itu saya dipaksa dan saya tidak boleh membantah keputusan orang tua. Bisa-bisa, saya diusir dari rumah dan terkutuk akibat melawan orangtua. Kalau kecewa dengan tradisi, ya jujur saja, saya kecewa,” tuturnya.

Hal yang sama juga dialami Ria (16) yang sekolahnya hanya sampai kelas dua SD. “Saya tahu kalau saya sedang menjalani tradisi ‘hasai naran’ ya setelah selesai melakukannya. Saya terus-terusan nangis menahan sakit,” ucapnya.

Setelah itu, katanya, dirinya mendapat penjelasan dari ibunya bahwa apa yang dilakukannya itu merupakan tradisi yang harus dijalankan. “Saya menjalani ‘hasai naran’ pada usia 8 tahun. Sebenarnya, saya sakit hati, karena pertama kali saya dipaksa begituan hanya ada rasa sakit, tapi ada untungnya juga karena saya memang malas sekolah, mau sekolah dapat biaya dari mana,” kilahnya.

Namun, dirinya tetap marah juga. “Sekarang setelah saya mengerti, saya marah karena tradisi itu ternyata tidak wajib, saya dipaksa karena orang tua saya membutuhkan uang, saya sering bertanya kenapa ada tradisi seperti itu,” ucapnya.

SIKLUS
Rasanya, tindakan menjual keperawanan itu memang terdengar janggal, apalagi jika dikaitkan dengan tradisi. “Tradisi ‘hasai naran’ yang berarti mengeluarkan nama itu memang ibarat transaksi keperawanan untuk anak sendiri guna menandai kedewasaan,” ujar mahasiswi Universitas Tujuhbelas Agustus (Untag) Surabaya, Yayu Margaret Moneke (25/1).

Hingga kini, kata peneliti asal Kupang, NTT untuk tradisi terselubung itu, tradisi “hasai naran” masih berkembang di Atambua yang merupakan kawasan perbatasan NTT-Timor Leste. “Tradisi itu berkembang pada beberapa desa yang ada di empat dari 12 kecamatan di Atambua, NTT yakni kecamatan Kaluluk Mesan, Tasifeto Barat, Kobalima, dan kecamatan kota Atambua,” ungkapnya. Mahasiswi Fakultas Psikologi Untag Surabaya yang diwisuda pada 27 Januari lalu itu, menjelaskan tradisi itu paling berkembang di kecamatan kota Atambua dan umumnya dilakukan masyarakat menengah ke bawah yang masih memegang kuat tradisi.

“Saya meneliti selama dua minggu untuk mempersiapkan skripsi dengan mewawancarai 15 dari 75 pelaku ‘hasai naran’ yang ada pada empat kecamatan itu secara acak,” ujar gadis kelahiran Kupang, NTT pada 21 Maret 1985 itu.

Menurut dia, pelaku umumnya dijual keperawanannya oleh orangtua sendiri pada usia 8-11 tahun kepada orang NTT atau luar NTT dengan nilai transaksi mulai Rp300 ribu hingga Rp1 juta, tergantung kesepakatan orangtua dengan calon pembeli. Motif dari tradisi “hasai-naran” itu, katanya, ada motif masa lalu dan motif masa kini. Di masa lalu, motifnya hanya untuk melanjutkan ajaran nenek moyang, namun saat ini sudah berkembang pada motif ekonomi dan balas dendam.

“Kalau anak gadisnya menolak, maka orangtua mengatakan keluarganya akan dikutuk leluhur, sehingga anak gadisnya pun mau dijual keperawanannya, meski dalam kondisi terpaksa,” tegasnya.

Namun, katanya, motif lain juga berkembang yakni motif ekonomi sesuai dengan tingkat kecantikan anaknya atau motif balas dendam, karena orangtuanya di masa lalu juga dipaksa orangtuanya untuk melakukan “hasai naran”.

“Gadis yang sudah menjalani ‘hasai-naran’ itu bila dinikahkan orangtuanya cukup dengan satu kali mas kawin bagi laki-laki yang menikahi. Mas kawinnya berupa sapi, uang, sofren (uang emas), uang perak, dan sebagainya sesuai kesepakatan, sedangkan bila perawan membayar dua kali yakni mas kawin untuk keperawanan dan mas kawin untuk pernikahan,” tuturnya.

Sebagai orang NTT, Yayu M Moneke berharap tradisi “hasai naran” segera diakhiri, karena dampak psikologis bagi pelaku yang diteliti menunjukkan mereka menjadi gadis yang mudah curiga pada laki-laki, trauma dengan seks, dan muncul rasa dendam pada keturunannya, sehingga hasai naran tum buh menjadi “siklus”.







Tidak ada komentar:

ALAMAT KAMI

Jalan

Timor Raya Km.16

Kelurahan/Desa

Noelbaki

Kecamatan

Kupang Tengah

Kab/Kota

Kupang

Kode Pos:

Provinsi

Nusa Tenggara Timur

Nomor telepon

0380-8044556

Fax 0380-8551017

Email

sahabatnew@yahoo.com

ON AIR LINE

03808044556 (TELP)

Peta User Yang sedang Online Di Sahabat FM