KORUPSI DAN ADVOKASI ANGGARAN
Oleh. Paul SinlaEloE
Staf Div. Anti Korupsi PIAR NTT
Oleh. Paul SinlaEloE
Staf Div. Anti Korupsi PIAR NTT
Korupsi pada dasarnya merupakan budaya kekuasaan karena dilakukan oleh oknum-oknum yang memiliki kekuasaan di lingkungan birokrasi pemerintahan dan pelaku swasta yang bersekongkol dengan oknum-oknum tersebut. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, korupsi diartikan sebagai perbuatan setiap orang baik pejabat pemerintah maupun swasta yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Pada konteks NTT, praktik korupsi begitu subur dan menjamur di semua daerah. Sehingga tidaklah mengherankan apabila muncul kesan, praktik itu telah menjadi ”gaya hidup” baru kalangan pejabat atau birokrat. Hasil temuan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan NTT Selama periode 2003-2007, yang di publikaiskan pada tanggal 30 Mei 2007 menunjukan bahwa di NTT terdapat 1.967 kasus dugaan korupsi dengan indikasi kerugian negara sejumlah Rp.50.061.226.820,54.
Dari temuan itu sudah ditindak lanjuti sebanyak 1.080 kasus dengan nilai kerugian negara sebesar Rp.32.437.826.139,00. Sedangkan 887 kasus dengan nilai kerugian negara sebanyak Rp.17.633.400.680,00 yang tersebar di 16 Kabupaten/Kota di NTT maupun pada level Pemprov, belum ditindak lanjuti. Data BPKP tahun 2007 ini sejalan dengan catatan akhir tahun 2007 dari Perkumpulan Pengembang Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR) NTT. Catatan akhir tahun 2007 PIAR NTT menunjukan bahawa dari 80 kasus dugaan korupsi di NTT yang dipantau oleh PIAR, terdapat indikasi kerugian negara sebesar Rp. 215.464.750.567,00 dengan sebaran yang cukup merata di 13 Kabupaten/Kota dan 1 Provinsi, yaitu: Prov. NTT, Kota Kupang, Kab. Kupang, Kab. TTS, Kab. TTU, Kab. Belu, Kab. Alor, Kab. Rote Ndao, Kab. Sumba Timur, Kab. Sikka, Kab. Ende, Kab. Flotim, Kab. Ngada, Kab. Manggarai.
Bertolak dari data yang demikian dan mengingat bahwa sampai saat ini korupsi masih terus terjadi bahkan semakin menjadi-jadi, maka pemberantasan korupsi di NTT atau paling tidak meminimalisir terjadinya korupsi di NTT, merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditunda. Untuk memberantas korupsi di NTT, bukanlah persoalan yang mudah karena untuk merumuskan strategi pemberantasan yang efektif, idealnya harus diketahui terlebih dahulu data yang akurat dan aktual tentang jumlah dari para koruptor. Sejalan dengan itu, karena sampai dengan saat ini tidak seorang/lembaga yang mengetahui jumlah dari para koruptor di NTT secara pasti, maka meminimalisir terjadinya korupsi di NTT adalah suatu pilihan yang bijaksana.
PENGELOLAAN ANGGARAN
DAN TITIK RAWAN TERJADINYA KORUPSI
Secara konseptual, ada 3 (tiga) tahapan dalam sistem pengelolaan anggaran, yakni: Pertama, tahap perencanaan. Kedua, tahap pelaksanaan. Ketiga, tahap pelaporan atau pertanggungjawaban. Dalam tahap perencanaan ada 2 (dua) aktivitas utama yang dilakukan yanki: Pertama, Jaring Asmara yang biasa dilakukan melalui berbagai media (radio, dialog publik, survey, dsb). Kedua, Penentuan Arah Kebujakan Umum (AKU)/Kebijakan Umum Anggaran (KUA). Penentuan AKU/KUA ini biasanya dilakukan oleh DPRD dan PEMDA. Dalam penentuan AKU/KUA ini idealnya yang harus menjadi dasar pertimbangan adalah Renstrada, hasil evaluasi kinerja tahun sebelumnya, Kebijakan pusat dan regional, pokok-pokok pikiran DPRD. Dalam pertimbangan ini juga tidak boleh mengabaikan Visi, Misi, Tujuan, sasaran pembangunan, strategi dan prioritas sesuai dengan skala kebutuhan masyarakat luas, prinsip ekonomis, efisien dan efektif.
Sedangkan aktivitas utama dalam tahap pelaksanaan adalah realisasi penerimaan daerah dan Realisasi pengeluaran daerah (belanja aparatur dan belanja publik). Untuk tahap Pelaporan/Pertanggungjawaban, setiap pelaporan yang dibuat harus tepat waktu dan harus berpedoman pada standar akuntansi pemerintah yang baik. Dan juga dalam pelaporan/Pertanggungjawaban harus dilengkapi dengan laporan pertanggungjawaban masing-masing unit kerja pemda, dimulai sejak anggaran ditetapkan, setiap transaksi yang terjadi, saat alokasi dan realisasinya; dipublikasikan dan transparan (dapat diakses publik).
Dari ketiga tahapan dalam sistem pengelolaan anggaran ini pengalaman PIAR NTT dalam melakukan advolasi anggaran menunjukan bahwa pada setiap tahapannya terdapat sejumlah titik rawan terjadinya korupsi: (Lihat tabel).
KONSEP ADVOKASI ANGGARAN
Salah satu alternatif yang dapat dipergunakan untuk meminimalisisr terjadinya korupsi di NTT adalah dengan cara melakukan advokasi anggaran (APBD). Advokasi anggaran (APBD) adalah upaya untuk mempengaruhi kebijakan anggaran (APBD) agar kebijakan anggaran (APBD) dapat pro rakyat dan tidak disalahgunakan oleh pejabat negara baik atas nama kepentingan instansi, kelompok yang berkuasa maupun pribadi. Advokasi anggaran (APBD) dapat dilakukan melalui jalur Formal maupun Non Formal. Secara sederhana langkah-langkah advokasi anggaran (APBD) dapat dilihat dalam bagan:
Bagan ini pada dasarnya merupakan skema dasar dalam melakukan advokasi. Dalam rangka meminimalisir terjadinya korupsi di NTT dengan cara melakukan advokasi anggaran (APBD), maka berdasarkan berbagai aksi dan refleksi dari PIAR NTT selama melakukan advokasi anggaran maupun advokasi kasus korupsi, langkah-langkah yang tertera dalam bagan di atas ini dapat dikembangkan dan di jabarkan, sebagai berikut:
PERTAMA, TENTUKAN ISU. Dalam advokasi anggaran, ada banyak isu yang dapat dimainkan, seperti: kebijakan yang berkaitan dengan pengalokasian anggaran, kebijakan struktur anggaran, kebijakan pengelolaan sumber-sumber penerimaan budgeter dan non budgeter, kebijakan tender proyek, kebijakan kontrol dan akuntabilitas anggaran, dll.
KEDUA, TENTUKAN TARGET YANG INGIN DICAPAI. Untuk menentukan target yang ingin dicapai, hendaknya harus diperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut: Pertama, terfokus. Artinya, hasilnya yang diharapkan harus spesifik dan jelas. Kedua, terukur. Maksudnya, hasil yang ingin dicapai harus memiliki indikator yang jelas. Ketiga, rasional dan realistis. Artinya, sasaran atau hasil yang ingin dicapai dapat dilaksanakan dan diwujudkan. Keempat, waktu. Artinya, harus ada patokan waktu untuk mewujudkan target yang ingin dicapai.
KETIGA, MENGUMPULKAN DATA. Data atau Informasi yang harus dicari dan dikumpulkan dalam rangka melakukan advokasi anggaran (APBD) ialah siklus penganggaran dan jadwalnya; Siapa yang terlibat dan berperan setiap tahapan penganggaran; Dapatkan dokumen-dokumen anggaran (pidato pengantar nota keuangan, nota keuangan, Propeda, Renstra, Poldas, Repetada, RASK, RAPBD, APBD, nota perhitungan, LKPJ, SKO, dll).
KEEMPAT, MELAKUKAN ANALISIS DATA. Yang dapat di teliti, diantarnya adalah: (a). Apakah proses pembahasan dilakukan secara terbuka dan partisipatif?; (b). Apakah alokasi anggaran yang diajukan sudah proporsional, rasional, efisien, efektif, akuntabel, dan transparan; (c). Dimana titik lemah dan titik kuat dari APBD. Alangkah baiknya jika kita dapat melakukan analisis ketika masih berupa draft, karena peluang untuk merubahnya akan lebih terbuka, dibanding ketika telah disahkan; (d). Dimana peluang-peluang untuk mempengaruhi kebijakan itu. Dalam menganalisis anggaran (APBD), harus dibuat catatan kritis berdasarkan aspek efisiensi (rasional anggaran = input/output), aspek normatif (kepatutan dengan peraturan terkait), aspek efektivitas (input/outcome dan impact), sekaligus juga harus di buat rekomendasi dan masukan berdasarkan permasalahan yang ditemukan.
KELIMA, MENENTUKAN KONSTITUENSI DAN PENGORGANISASIAN. Konstituensi adalah sekelompok orang yang memiliki kepentingan kelompok yang kita wakili dan orang-orang dari mana kita mendapat dukungan politik. Konstituensi ini bisa beragam kelompok kepentingan, misalnya: komunitas rakyat miskin, kelompok perempuan, kelompok petani, kelompok pengungsi, dan lain sebagiannya. Sesudah kita menentukan konstituensi, idealnya harus dilakukan pengorganisasian. Pengorganisasian merupakan usaha untuk membangun kesadaran kritis dari konstituensi sehingga mereka dapat memahami secara kritis akan lingkungannya serta mampu mengambil tindakan yang mandiri, independent dan merdeka (tanpa paksaan) dalam rangka mengatasi persoalan yang dihadapi. Dalam pengorganisasian untuk advokasi anggaran (APBD), yang harus dilakukan oleh organizer adalah bangunkan kesadaran konstituensi dengan data, artinya hasil analisis yang telah dilakukan wajib disampaikan pada mereka dan diskusikan secara langsung dengan mereka (terutama tokoh-tokoh kuncinya). Pengorganisasian untuk advokasi anggaran (APBD), harus juga meliputi pembentukan sistematika kerja dalam rangka mencegah terjadinya korupsi. Dalam pengertian ini pengorganisasian tidak selalu berarti formal. Pengorganisasian dapat dilakukan dengan mendorong pembentukan organisasi-organisasi baru dan membangun koordinasi/jaringan kerja.
KEENAM, ANALISIS POTENSI DAN ANCAMAN. Dua hal yang penting untuk dilakukan dalam menganalisis potensi adalah: Analisis sumbrdaya manusia dan analisis sumberdaya anggaran. Sedangkan dalam menganalisis ancaman, satu hal yang tidak boleh diabaikan adalah analisis resiko. Ini penting diperhatikan, mengingat kerja advokasi termasuk salah satu pekerjaan yang penuh dengan resiko. Apalagi tidak semua orang dapat menerima apa yang menjadi tuntutan kita. Karena itu, sebaiknya sejak awal kita sudah menyiapkan diri untuk menghadapainya, termasuk ancaman teror, penculikan maupun tuntutan hukum yang mungkin akan diajukan kepada kita.
KETUJUH, BERKOALISI. Advokasi anggaran (APBD) harus dilakukan secara berjaringan/berkoalisi. Sebelum memutuskan untuk berkoalisi, lihatlah terlebih dahulu, apakah koalisi sejenis sudah ada atau belum. Kalau sudah ada, cobalah untuk mempertimbangkan bergabung dalam koalisi tersebut. Jika ternyata kita merasa tidak dapat bersinergi dengan koalisi yang ada, maka bangunlah koalisi sendiri. Hal-hal yang perlu di pertimbangkan sebelum memutuskan untuk bergabung dalam suatu koalisi adalah: (a). Apakah anggota dalam koalisi tersebut mempunyai reputasi yang baik?; (b). Siapa yang berperan (Charge) dalam koalisi? Apakah kelompok/organisasi yang ada dalam koalisi dapat bekerja sama dengan anda? Apakah mereka mempunyai skill untuk memimpin?; (c). Apa tujuan, strategi dan pendekatan yang dipakai oleh koalisi? Apakah ada konsensus antar anggota yang kuat dalam persoalan yang menjadi fokus advokasi?; (d). Apakah anggota dari koalisi mempunyai hubungan yang baik?; (e). Apa koalisi mempunyai sumber daya yang memadai untuk melancarkan agendanya?; (f). Peran apa yang ditawarkan pada organisasi anda sebagai anggota dari koalisi.
Sedangkan untuk membangun sebuah koalisi pertama-pertama tanyakan terlebih dahulu pada kolega anda, apakah mereka mempunyai cukup waktu, energi dan komitmen yang dibutuhkan untuk suatu koalisi. Kemudian identifikasikanlah organisasi-organisasi yang bisa diajak berkoalisi. Dalam memilih rekan yang akan diajak untuk membangun suatu koalisi, hal-hal yang mesti dijadikan pertimbangan adalah: (a). Bagaimana visi mereka?; (b). Apakah ada pertentangan ideologi?; (c). Apa potensi yang mereka miliki dan apa potensi yang lembaga kita miliki?; (d). Keuntungan-keuntugan apa yang dapat diperoleh jika kita melakukan koalisi dengan lembaga tersebut?; (e). Hal-hal apa yang jadi penghambat?
Untuk memastikan bahwa koalisi yang kita bangun dapat bekerja secara efektif, maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: (a). Mulai dengan membangun kepercayaan; (b). Harus ada kejelasan dalam pembagian kerja yang didasarkan atas potensi masing-masing lembaga; (c). Adanya kesepakatan antara anggota untuk memperjuangkan suatu isu untuk mencapai suatu tujuan yang ditetapkan bersama; (d). Tetapkan fokus terhadap isu; (e). Membuat aturan main yang disepakati bersama.
KEDELAPAN, MENGIDENTIFIKASI PELUANG DAN HAMBATAN. Dalam proses penyususnan anggaran, ada empat peluang yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan advokasi anggaran, yakni: Pertama, pada tahap pembuatan draft anggaran. Kedua, pada tahap pembahasan anggaran. Ketiga, pada tahap implementasi anggaran. Keempat, pada tahap evaluasi anggaran. Untuk mengidentifikasi hambatan, yang perlu diketahui adalah apa dan siapa yang menjadi penghambat. Kemudian menyiapkan solusi untuk mengantisipasi dan mengatasinya.
KESEMBILAN, MENENTUKAN STRATEGI ADVOKASI. Kejelian dalam memilih strategi advokasi sangat menentukan keberhasilan dalam melakukan advokasi anggaran. Kesalahan dalam menentukan strategi dapat berakibat fatal sampai pada gagalnya upaya advokasi kita. Secara garis besar strategi advokasi pada jalur Non Litigasi dapat dibagi menjadi dua strategi, yaitu: Pertama, strategi proaktif, yang mana diantaranya adalah lobby, Hearing, dan kampanye. Kedua, strategi yang reaktif yang meliputi demonstrasi, legal standing, class action, boikot, dan revolusi.
KESEPULUH, MELAKSANAKAN AKSI. Aksi yang dilaksanakan, idealnya harus berdasarkan strategi advokasi dan harus dilaksanakan secara profesional dan tepat waktu. Jika tidak, maka aksi tersebut dapat dipastikan tidak akan mencapai hail yang optimal.
KESEBELAS, MONITORING DAN EVALUASI. Monitoring dan evaluasi (Monev), ini harus ditujukan untuk mengetahui apakah strategi yang dipergunakan cukup efektif atau harus dirubah dan apakah isu ini masih dapat diteruskan atau tidak. Untuk melakukan Monev, ada sejumlah prinsip yang harus dipegang teguh, yakni: Pertama, Objektif. Artinya, pelaksanaan monev harus dilakukan atas dasar indikator-indikator yang sudah disepakati tanpa tndensi apriori. Kedua, Transparan (Keterbukaan). Pelaksanaan monev harus dilakukan secara terbuka dan diinformasikan kepada seluruh pihak yang terkait dengan pelaksanaan monev ini. Ketiga, Partisipatif. Pelaksanaan monev harus melibatkan secara aktif dan interaktif bagi para pelaku. Keempat, Akuntabilitas (Tanggung Gugat). Pelaksanaan monev dapat dipertanggungjawabkan secara internal maupun eksternal. Kelima, Tepat Waktu. Pelaksanaan monev harus sesuai waktu yang dijadwalkan. Keenam, Berkesinambungan. Artinya, hasil monev harus dipakai sebagai umpan balik penyempurnaan pada kebijakan berikutnya.
Pada akhirnya harus diingat bahwa Keseluruhan langkah dalam melakukan advokasi anggaran (APBD) untuk meminimalisir terjadinya korupsi di NTT sebagaimana yang telah dipaparkan di atas ini, hendaknya dipahami secara dinamis. Artinya langkah-langkah ini tidaklah bersifat kaku dan dapat dikembangkan dan diterpkan sesuai kebutuhan.
Pada konteks NTT, praktik korupsi begitu subur dan menjamur di semua daerah. Sehingga tidaklah mengherankan apabila muncul kesan, praktik itu telah menjadi ”gaya hidup” baru kalangan pejabat atau birokrat. Hasil temuan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan NTT Selama periode 2003-2007, yang di publikaiskan pada tanggal 30 Mei 2007 menunjukan bahwa di NTT terdapat 1.967 kasus dugaan korupsi dengan indikasi kerugian negara sejumlah Rp.50.061.226.820,54.
Dari temuan itu sudah ditindak lanjuti sebanyak 1.080 kasus dengan nilai kerugian negara sebesar Rp.32.437.826.139,00. Sedangkan 887 kasus dengan nilai kerugian negara sebanyak Rp.17.633.400.680,00 yang tersebar di 16 Kabupaten/Kota di NTT maupun pada level Pemprov, belum ditindak lanjuti. Data BPKP tahun 2007 ini sejalan dengan catatan akhir tahun 2007 dari Perkumpulan Pengembang Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR) NTT. Catatan akhir tahun 2007 PIAR NTT menunjukan bahawa dari 80 kasus dugaan korupsi di NTT yang dipantau oleh PIAR, terdapat indikasi kerugian negara sebesar Rp. 215.464.750.567,00 dengan sebaran yang cukup merata di 13 Kabupaten/Kota dan 1 Provinsi, yaitu: Prov. NTT, Kota Kupang, Kab. Kupang, Kab. TTS, Kab. TTU, Kab. Belu, Kab. Alor, Kab. Rote Ndao, Kab. Sumba Timur, Kab. Sikka, Kab. Ende, Kab. Flotim, Kab. Ngada, Kab. Manggarai.
Bertolak dari data yang demikian dan mengingat bahwa sampai saat ini korupsi masih terus terjadi bahkan semakin menjadi-jadi, maka pemberantasan korupsi di NTT atau paling tidak meminimalisir terjadinya korupsi di NTT, merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditunda. Untuk memberantas korupsi di NTT, bukanlah persoalan yang mudah karena untuk merumuskan strategi pemberantasan yang efektif, idealnya harus diketahui terlebih dahulu data yang akurat dan aktual tentang jumlah dari para koruptor. Sejalan dengan itu, karena sampai dengan saat ini tidak seorang/lembaga yang mengetahui jumlah dari para koruptor di NTT secara pasti, maka meminimalisir terjadinya korupsi di NTT adalah suatu pilihan yang bijaksana.
PENGELOLAAN ANGGARAN
DAN TITIK RAWAN TERJADINYA KORUPSI
Secara konseptual, ada 3 (tiga) tahapan dalam sistem pengelolaan anggaran, yakni: Pertama, tahap perencanaan. Kedua, tahap pelaksanaan. Ketiga, tahap pelaporan atau pertanggungjawaban. Dalam tahap perencanaan ada 2 (dua) aktivitas utama yang dilakukan yanki: Pertama, Jaring Asmara yang biasa dilakukan melalui berbagai media (radio, dialog publik, survey, dsb). Kedua, Penentuan Arah Kebujakan Umum (AKU)/Kebijakan Umum Anggaran (KUA). Penentuan AKU/KUA ini biasanya dilakukan oleh DPRD dan PEMDA. Dalam penentuan AKU/KUA ini idealnya yang harus menjadi dasar pertimbangan adalah Renstrada, hasil evaluasi kinerja tahun sebelumnya, Kebijakan pusat dan regional, pokok-pokok pikiran DPRD. Dalam pertimbangan ini juga tidak boleh mengabaikan Visi, Misi, Tujuan, sasaran pembangunan, strategi dan prioritas sesuai dengan skala kebutuhan masyarakat luas, prinsip ekonomis, efisien dan efektif.
Sedangkan aktivitas utama dalam tahap pelaksanaan adalah realisasi penerimaan daerah dan Realisasi pengeluaran daerah (belanja aparatur dan belanja publik). Untuk tahap Pelaporan/Pertanggungjawaban, setiap pelaporan yang dibuat harus tepat waktu dan harus berpedoman pada standar akuntansi pemerintah yang baik. Dan juga dalam pelaporan/Pertanggungjawaban harus dilengkapi dengan laporan pertanggungjawaban masing-masing unit kerja pemda, dimulai sejak anggaran ditetapkan, setiap transaksi yang terjadi, saat alokasi dan realisasinya; dipublikasikan dan transparan (dapat diakses publik).
Dari ketiga tahapan dalam sistem pengelolaan anggaran ini pengalaman PIAR NTT dalam melakukan advolasi anggaran menunjukan bahwa pada setiap tahapannya terdapat sejumlah titik rawan terjadinya korupsi: (Lihat tabel).
KONSEP ADVOKASI ANGGARAN
Salah satu alternatif yang dapat dipergunakan untuk meminimalisisr terjadinya korupsi di NTT adalah dengan cara melakukan advokasi anggaran (APBD). Advokasi anggaran (APBD) adalah upaya untuk mempengaruhi kebijakan anggaran (APBD) agar kebijakan anggaran (APBD) dapat pro rakyat dan tidak disalahgunakan oleh pejabat negara baik atas nama kepentingan instansi, kelompok yang berkuasa maupun pribadi. Advokasi anggaran (APBD) dapat dilakukan melalui jalur Formal maupun Non Formal. Secara sederhana langkah-langkah advokasi anggaran (APBD) dapat dilihat dalam bagan:
Bagan ini pada dasarnya merupakan skema dasar dalam melakukan advokasi. Dalam rangka meminimalisir terjadinya korupsi di NTT dengan cara melakukan advokasi anggaran (APBD), maka berdasarkan berbagai aksi dan refleksi dari PIAR NTT selama melakukan advokasi anggaran maupun advokasi kasus korupsi, langkah-langkah yang tertera dalam bagan di atas ini dapat dikembangkan dan di jabarkan, sebagai berikut:
PERTAMA, TENTUKAN ISU. Dalam advokasi anggaran, ada banyak isu yang dapat dimainkan, seperti: kebijakan yang berkaitan dengan pengalokasian anggaran, kebijakan struktur anggaran, kebijakan pengelolaan sumber-sumber penerimaan budgeter dan non budgeter, kebijakan tender proyek, kebijakan kontrol dan akuntabilitas anggaran, dll.
KEDUA, TENTUKAN TARGET YANG INGIN DICAPAI. Untuk menentukan target yang ingin dicapai, hendaknya harus diperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut: Pertama, terfokus. Artinya, hasilnya yang diharapkan harus spesifik dan jelas. Kedua, terukur. Maksudnya, hasil yang ingin dicapai harus memiliki indikator yang jelas. Ketiga, rasional dan realistis. Artinya, sasaran atau hasil yang ingin dicapai dapat dilaksanakan dan diwujudkan. Keempat, waktu. Artinya, harus ada patokan waktu untuk mewujudkan target yang ingin dicapai.
KETIGA, MENGUMPULKAN DATA. Data atau Informasi yang harus dicari dan dikumpulkan dalam rangka melakukan advokasi anggaran (APBD) ialah siklus penganggaran dan jadwalnya; Siapa yang terlibat dan berperan setiap tahapan penganggaran; Dapatkan dokumen-dokumen anggaran (pidato pengantar nota keuangan, nota keuangan, Propeda, Renstra, Poldas, Repetada, RASK, RAPBD, APBD, nota perhitungan, LKPJ, SKO, dll).
KEEMPAT, MELAKUKAN ANALISIS DATA. Yang dapat di teliti, diantarnya adalah: (a). Apakah proses pembahasan dilakukan secara terbuka dan partisipatif?; (b). Apakah alokasi anggaran yang diajukan sudah proporsional, rasional, efisien, efektif, akuntabel, dan transparan; (c). Dimana titik lemah dan titik kuat dari APBD. Alangkah baiknya jika kita dapat melakukan analisis ketika masih berupa draft, karena peluang untuk merubahnya akan lebih terbuka, dibanding ketika telah disahkan; (d). Dimana peluang-peluang untuk mempengaruhi kebijakan itu. Dalam menganalisis anggaran (APBD), harus dibuat catatan kritis berdasarkan aspek efisiensi (rasional anggaran = input/output), aspek normatif (kepatutan dengan peraturan terkait), aspek efektivitas (input/outcome dan impact), sekaligus juga harus di buat rekomendasi dan masukan berdasarkan permasalahan yang ditemukan.
KELIMA, MENENTUKAN KONSTITUENSI DAN PENGORGANISASIAN. Konstituensi adalah sekelompok orang yang memiliki kepentingan kelompok yang kita wakili dan orang-orang dari mana kita mendapat dukungan politik. Konstituensi ini bisa beragam kelompok kepentingan, misalnya: komunitas rakyat miskin, kelompok perempuan, kelompok petani, kelompok pengungsi, dan lain sebagiannya. Sesudah kita menentukan konstituensi, idealnya harus dilakukan pengorganisasian. Pengorganisasian merupakan usaha untuk membangun kesadaran kritis dari konstituensi sehingga mereka dapat memahami secara kritis akan lingkungannya serta mampu mengambil tindakan yang mandiri, independent dan merdeka (tanpa paksaan) dalam rangka mengatasi persoalan yang dihadapi. Dalam pengorganisasian untuk advokasi anggaran (APBD), yang harus dilakukan oleh organizer adalah bangunkan kesadaran konstituensi dengan data, artinya hasil analisis yang telah dilakukan wajib disampaikan pada mereka dan diskusikan secara langsung dengan mereka (terutama tokoh-tokoh kuncinya). Pengorganisasian untuk advokasi anggaran (APBD), harus juga meliputi pembentukan sistematika kerja dalam rangka mencegah terjadinya korupsi. Dalam pengertian ini pengorganisasian tidak selalu berarti formal. Pengorganisasian dapat dilakukan dengan mendorong pembentukan organisasi-organisasi baru dan membangun koordinasi/jaringan kerja.
KEENAM, ANALISIS POTENSI DAN ANCAMAN. Dua hal yang penting untuk dilakukan dalam menganalisis potensi adalah: Analisis sumbrdaya manusia dan analisis sumberdaya anggaran. Sedangkan dalam menganalisis ancaman, satu hal yang tidak boleh diabaikan adalah analisis resiko. Ini penting diperhatikan, mengingat kerja advokasi termasuk salah satu pekerjaan yang penuh dengan resiko. Apalagi tidak semua orang dapat menerima apa yang menjadi tuntutan kita. Karena itu, sebaiknya sejak awal kita sudah menyiapkan diri untuk menghadapainya, termasuk ancaman teror, penculikan maupun tuntutan hukum yang mungkin akan diajukan kepada kita.
KETUJUH, BERKOALISI. Advokasi anggaran (APBD) harus dilakukan secara berjaringan/berkoalisi. Sebelum memutuskan untuk berkoalisi, lihatlah terlebih dahulu, apakah koalisi sejenis sudah ada atau belum. Kalau sudah ada, cobalah untuk mempertimbangkan bergabung dalam koalisi tersebut. Jika ternyata kita merasa tidak dapat bersinergi dengan koalisi yang ada, maka bangunlah koalisi sendiri. Hal-hal yang perlu di pertimbangkan sebelum memutuskan untuk bergabung dalam suatu koalisi adalah: (a). Apakah anggota dalam koalisi tersebut mempunyai reputasi yang baik?; (b). Siapa yang berperan (Charge) dalam koalisi? Apakah kelompok/organisasi yang ada dalam koalisi dapat bekerja sama dengan anda? Apakah mereka mempunyai skill untuk memimpin?; (c). Apa tujuan, strategi dan pendekatan yang dipakai oleh koalisi? Apakah ada konsensus antar anggota yang kuat dalam persoalan yang menjadi fokus advokasi?; (d). Apakah anggota dari koalisi mempunyai hubungan yang baik?; (e). Apa koalisi mempunyai sumber daya yang memadai untuk melancarkan agendanya?; (f). Peran apa yang ditawarkan pada organisasi anda sebagai anggota dari koalisi.
Sedangkan untuk membangun sebuah koalisi pertama-pertama tanyakan terlebih dahulu pada kolega anda, apakah mereka mempunyai cukup waktu, energi dan komitmen yang dibutuhkan untuk suatu koalisi. Kemudian identifikasikanlah organisasi-organisasi yang bisa diajak berkoalisi. Dalam memilih rekan yang akan diajak untuk membangun suatu koalisi, hal-hal yang mesti dijadikan pertimbangan adalah: (a). Bagaimana visi mereka?; (b). Apakah ada pertentangan ideologi?; (c). Apa potensi yang mereka miliki dan apa potensi yang lembaga kita miliki?; (d). Keuntungan-keuntugan apa yang dapat diperoleh jika kita melakukan koalisi dengan lembaga tersebut?; (e). Hal-hal apa yang jadi penghambat?
Untuk memastikan bahwa koalisi yang kita bangun dapat bekerja secara efektif, maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: (a). Mulai dengan membangun kepercayaan; (b). Harus ada kejelasan dalam pembagian kerja yang didasarkan atas potensi masing-masing lembaga; (c). Adanya kesepakatan antara anggota untuk memperjuangkan suatu isu untuk mencapai suatu tujuan yang ditetapkan bersama; (d). Tetapkan fokus terhadap isu; (e). Membuat aturan main yang disepakati bersama.
KEDELAPAN, MENGIDENTIFIKASI PELUANG DAN HAMBATAN. Dalam proses penyususnan anggaran, ada empat peluang yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan advokasi anggaran, yakni: Pertama, pada tahap pembuatan draft anggaran. Kedua, pada tahap pembahasan anggaran. Ketiga, pada tahap implementasi anggaran. Keempat, pada tahap evaluasi anggaran. Untuk mengidentifikasi hambatan, yang perlu diketahui adalah apa dan siapa yang menjadi penghambat. Kemudian menyiapkan solusi untuk mengantisipasi dan mengatasinya.
KESEMBILAN, MENENTUKAN STRATEGI ADVOKASI. Kejelian dalam memilih strategi advokasi sangat menentukan keberhasilan dalam melakukan advokasi anggaran. Kesalahan dalam menentukan strategi dapat berakibat fatal sampai pada gagalnya upaya advokasi kita. Secara garis besar strategi advokasi pada jalur Non Litigasi dapat dibagi menjadi dua strategi, yaitu: Pertama, strategi proaktif, yang mana diantaranya adalah lobby, Hearing, dan kampanye. Kedua, strategi yang reaktif yang meliputi demonstrasi, legal standing, class action, boikot, dan revolusi.
KESEPULUH, MELAKSANAKAN AKSI. Aksi yang dilaksanakan, idealnya harus berdasarkan strategi advokasi dan harus dilaksanakan secara profesional dan tepat waktu. Jika tidak, maka aksi tersebut dapat dipastikan tidak akan mencapai hail yang optimal.
KESEBELAS, MONITORING DAN EVALUASI. Monitoring dan evaluasi (Monev), ini harus ditujukan untuk mengetahui apakah strategi yang dipergunakan cukup efektif atau harus dirubah dan apakah isu ini masih dapat diteruskan atau tidak. Untuk melakukan Monev, ada sejumlah prinsip yang harus dipegang teguh, yakni: Pertama, Objektif. Artinya, pelaksanaan monev harus dilakukan atas dasar indikator-indikator yang sudah disepakati tanpa tndensi apriori. Kedua, Transparan (Keterbukaan). Pelaksanaan monev harus dilakukan secara terbuka dan diinformasikan kepada seluruh pihak yang terkait dengan pelaksanaan monev ini. Ketiga, Partisipatif. Pelaksanaan monev harus melibatkan secara aktif dan interaktif bagi para pelaku. Keempat, Akuntabilitas (Tanggung Gugat). Pelaksanaan monev dapat dipertanggungjawabkan secara internal maupun eksternal. Kelima, Tepat Waktu. Pelaksanaan monev harus sesuai waktu yang dijadwalkan. Keenam, Berkesinambungan. Artinya, hasil monev harus dipakai sebagai umpan balik penyempurnaan pada kebijakan berikutnya.
Pada akhirnya harus diingat bahwa Keseluruhan langkah dalam melakukan advokasi anggaran (APBD) untuk meminimalisir terjadinya korupsi di NTT sebagaimana yang telah dipaparkan di atas ini, hendaknya dipahami secara dinamis. Artinya langkah-langkah ini tidaklah bersifat kaku dan dapat dikembangkan dan diterpkan sesuai kebutuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar